Bencana Radiasi Nuklir Fukushima | ![]() | ![]() | ![]() |
Ditulis oleh Teguh |
Rabu, 16 Maret 2011 02:06 |
![]() Ledakan ini menyusul peristiwa yang terjadi di reaktor Fukushima Daichi unit 1 yang meledak Sabtu (12/3) dan unit 3 yang meledak Senin pagi (14/3) setelah gelombang tsunami menerjang sepanjang pantai Timur Jepang pada Jumat (11/3). Ledakan reaktor nuklir Fukushima dengan segera membawa kekhawatiran akan musibah berikutnya setelah gempa dan tsunami, yakni sebuah bencana radiasi. Bukan saja masyarakat di sekeliling PLTN Fukushima yang resah, namun juga negara-negara tetangganya seperti Rusia, China hingga Indonesia yang berada ribuan kilometer di selatannya. Berbagai pesan singkat yang isinya membuat takut menyebar dengan cepat, termasuk pesan dalam bahasa Inggris yang ditujukan untuk masyarakat di negara-negara Asia misalnya menganjurkan agar tidak ke luar rumah, menutup pintu dan jendela, hingga imbauan mengoleskan betadin di leher agar tidak terkena kanker thyroid. Masyarakat tiba-tiba kembali diingatkan dengan peristiwa Chernobyl, di Ukraina (dulu termasuk Uni Sovyet) pada 1986 yang menewaskan secara langsung dua petugasnya, disusul 45 petugas lainnya yang meninggal secara bertahap karena terpapar radiasi dengan dosis akut, serta ribuan lainnya terkena kasus kanker gondok (thyroid). Keresahan terhadap dampak radiasi PLTN ini tentu saja menambah beban penderitaan warga Jepang yang belum lepas dari derita gempa dan tsunami, juga telah mengalihkan kepedulian dunia dari korban bencana ke isu radiasi nuklir. Terkontaminasi Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) As Natio Lasman meminta masyarakat tidak perlu khawatir isu partikel radioaktif PLTN Fukushima Jepang menyebar dan mengkontaminasi hingga ke Indonesia, karena jarak kedua negara ini yang ribuan kilometer tak memungkinkannya. Radiasi nuklir dari tiga PLTN Fukushima, tegasnya, hanya terjadi di luasan daerah evakuasi dalam radius 30 kilometer dimana warga sudah diungsikan. Apalagi angin di musim ini sedang bertiup ke arah utara-barat, bukan ke arah Indonesia yang berada di sebelah selatan Jepang dengan rata-rata kecepatan 0,2-0,3 meter per detik, yang dengan demikian kalaupun ada debu radioaktif tidak akan sampai ke Indonesia. Soal hujan asam yang juga diresahkan, menurut dia, akibat penggunaan boron di dalam pendingin reaktor dalam bentuk asam borat, namun asam borat ini termasuk asam lemah, bahkan jauh lebih lemah dari asam sulfat ataupun asam nitrat serta tidak berbahaya. As Natio juga mengutip otoritas Jepang bahwa ledakan reaktor unit 1 PLTN Fukushima pada Sabtu siang (12 Maret) dan unit 3 pada Senin siang (14 Maret) serta unit 2 pada Selasa pagi (15 Maret) hanya merupakan ledakan hidrogen, bukan ledakan nuklir. Ledakan hidrogen, urainya, akibat kegagalan sistem pendingin pada PLTN yang usianya sudah 40 tahun tersebut. "Unsur air atau H2O yang terdiri dari H2 (hidrogen) dan O2 (oksigen) terlalu panas hingga mencapai 500 derajat Celcius sehingga terpisah menjadi H2 dan O2. H2 yang bereaksi di udara kemudian meledak. Sebenarnya tidak berbahaya tapi runtuhan atapnya menimbulkan kecelakaan sampai belasan orang," katanya. Penyuntikan air laut ke dalam Unit 1, 2 dan 3 terganggu karena kurangnya persediaan di tandon air laut, namun kini penyuntikan telah memulihkan unit 1 dan 3 PLTN. Sedangkan unsur-unsur radioaktif bahan bakar PLTN, menurut dia, tidak ada yang bisa dinyatakan bocor selama bahan bakar nuklir tetap utuh. Namun kemungkinan sempat ada yang terikut melalui ventilasi sehingga ada peningkatan radioaktif di sekitar PLTN dan membuat zona sekitar PLTN harus diamankan. "Di zona PLTN memang sempat terjadi peningkatan radioaktif, pada Sabtu sebesar 1.800 mSv, Senin menjadi 800 mSv, lalu meningkat lagi jadi 1.900 mSv karena ledakan Selasa pagi. Tapi sampai saat ini pemerintah Jepang belum memperluas zona evakuasi 30 km," katanya. Masyarakat umum, sesuai peraturan internasional, memang tidak boleh terpapar radiasi melebihi rata-rata 1 mSv per tahun, sementara itu, pekerja di kawasan radiasi ditetapkan tidak boleh menerima lebih dari 50mSv per tahun. Pada dosis 3.000-4.000 mSv, kemungkinan untuk bertahan hidup sekitar 50 persen. Dosis yang tinggi ini bisa merusak usus yang menyebabkan muntah-muntah dan diare atau merusak tulang sumsum sehingga melemahkan produksi sel darah merah. Dosis akut yang lebih rendah, misalnya 2.000 mSv jarang menyebabkan bahaya langsung bagi kehidupan seseorang, namun gejala penyakit radiasi bisa dirasakan sebagai rasa letih, muntah-muntah dan kurang nafsu makan selama beberapa hari atau minggu, kadang disertai kehilangan rambut, tetapi tak meninggalkan cedera permanen. International Atomic Energy Agency (IAEA), Badan Pengawas Tenaga Atom PBB, menurut As, juga belum mengeluarkan peringatan khusus kepada negara-negara yang bertetangga dengan Jepang akan bahaya radiasi, karena sejauh ini masih dapat tertangani dengan baik. (h/dewanti lestari/ant) |