Senin, 28 Maret 2011

radiasi nuklir fukushima

Bencana Radiasi Nuklir Fukushima PDF Cetak Surel
Ditulis oleh Teguh   
Rabu, 16 Maret 2011 02:06
Reaktor unit 2 Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima  Daiichi, Jepang, meledak  Selasa (15/3) dini hari, dan asap kembali tampak membumbung tinggi di langit Fukushima.
Ledakan ini menyusul peristiwa yang terjadi di reaktor Fukushima Daichi unit 1  yang meledak Sabtu (12/3) dan unit 3 yang meledak Senin pagi (14/3)  setelah gelom­bang tsunami menerjang sepanjang pantai Timur Jepang pada Jumat (11/3).
Ledakan reaktor nuklir Fuku­shima de­ngan segera membawa kekhawatiran akan musibah beri­kutnya setelah gempa dan tsunami, yakni sebuah bencana radiasi.
Bukan saja masyarakat di seke­liling PLTN Fukushima yang resah, namun juga negara-negara tetang­ganya seperti Rusia, China hingga Indonesia yang berada ribuan kilometer di selatannya.
Berbagai pesan singkat yang isinya membuat takut menyebar dengan cepat, termasuk pesan dalam bahasa Inggris yang ditujukan untuk masyarakat di negara-negara Asia misalnya menganjurkan agar tidak ke luar rumah, menutup pintu dan jendela, hingga imbauan mengoleskan betadin di leher agar tidak terkena kanker thyroid.
Masyarakat tiba-tiba kembali diingatkan dengan peristiwa Cher­nobyl, di Ukraina (dulu termasuk Uni Sovyet) pada 1986 yang mene­waskan secara langsung dua petu­gasnya, disusul 45 petugas lainnya yang meninggal secara bertahap karena terpapar radiasi dengan dosis akut, serta ribuan lainnya terkena kasus kanker gondok (thyroid).
Keresahan terhadap dampak radiasi PLTN ini tentu saja menam­bah beban penderitaan warga Jepang  yang belum lepas dari derita gempa dan tsunami, juga telah mengalihkan kepedulian dunia dari korban bencana ke isu  radiasi nuklir.
Terkontaminasi
Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) As Natio Lasman meminta masyarakat  tidak perlu khawatir isu  partikel radioaktif PLTN Fukushima Jepang  menyebar dan  mengkontaminasi hingga ke Indonesia, karena jarak kedua negara ini yang ribuan kilometer tak memungkinkannya.
Radiasi nuklir dari tiga  PLTN  Fukushima, tegasnya, hanya terjadi di luasan daerah evakuasi dalam radius  30 kilometer dimana warga sudah diungsikan.
Apalagi angin di musim ini sedang bertiup ke arah utara-barat, bukan ke arah Indonesia yang berada di sebelah selatan Jepang dengan rata-rata kecepatan 0,2-0,3 meter per detik, yang dengan demikian kalau­pun ada debu radioaktif tidak akan sampai ke Indonesia.
Soal hujan asam yang juga diresahkan, menurut dia, akibat penggunaan boron  di dalam pendi­ngin reaktor  dalam bentuk asam borat, namun asam borat ini terma­suk asam lemah, bahkan jauh lebih lemah dari asam sulfat ataupun asam nitrat serta tidak berbahaya.
As Natio  juga mengutip otoritas Jepang bahwa ledakan reaktor unit 1 PLTN Fukushima pada Sabtu siang  (12 Maret)  dan unit 3 pada Senin siang (14 Maret) serta unit 2 pada Selasa pagi (15 Maret) hanya merupakan ledakan hidrogen, bukan ledakan nuklir. Ledakan hidrogen, urainya, akibat kegagalan sistem pendingin pada PLTN yang usianya sudah 40 tahun tersebut.
"Unsur air atau H2O yang terdiri dari H2 (hidrogen) dan O2 (oksi­gen) terlalu panas hingga mencapai 500 derajat Celcius sehingga terpisah menjadi H2 dan O2. H2 yang bereaksi di udara kemudian meledak. Sebenarnya tidak berbahaya tapi runtuhan atapnya menimbulkan kecelakaan sampai belasan orang," katanya.
Penyuntikan air laut ke dalam Unit 1, 2 dan 3 terganggu karena kurangnya persediaan di tandon air laut, namun kini penyuntikan telah memulihkan unit 1 dan 3 PLTN. Sedangkan unsur-unsur radioaktif bahan bakar PLTN, menurut dia, tidak ada yang bisa dinyatakan bocor selama bahan bakar nuklir tetap utuh.
Namun kemungkinan sempat ada yang terikut melalui ventilasi sehingga ada peningkatan radioaktif di sekitar  PLTN dan membuat zona sekitar PLTN harus diamankan.
"Di zona PLTN memang sempat terjadi peningkatan radioaktif, pada Sabtu sebesar 1.800 mSv, Senin menjadi 800 mSv, lalu meningkat lagi jadi 1.900 mSv karena ledakan  Selasa  pagi. Tapi sampai saat ini pemerintah Jepang belum mem­perluas zona evakuasi 30 km," katanya.
Masyarakat umum, sesuai per­aturan internasional, memang tidak boleh terpapar radiasi melebihi rata-rata 1 mSv per tahun, sementara itu, pekerja di kawasan radiasi ditetapkan tidak boleh menerima lebih dari 50mSv per tahun.
Pada dosis 3.000-4.000 mSv, kemungkinan untuk bertahan hidup sekitar 50 persen. Dosis yang tinggi ini bisa merusak usus yang menye­babkan muntah-muntah dan diare atau merusak tulang sumsum se­hingga melemahkan produksi sel darah merah.
Dosis akut yang lebih rendah, misalnya 2.000 mSv jarang menye­babkan bahaya langsung bagi kehi­dupan seseorang, namun gejala penyakit radiasi bisa dirasakan sebagai rasa letih, muntah-muntah dan kurang nafsu makan selama beberapa hari atau minggu, kadang disertai kehilangan rambut, tetapi tak meninggalkan cedera permanen.
International Atomic Energy Agency (IAEA), Badan Pengawas Tenaga Atom PBB, menurut As, juga belum mengeluarkan peri­ngatan khusus kepada negara-negara yang bertetangga dengan Jepang akan bahaya radiasi, karena sejauh ini masih dapat tertangani dengan baik. (h/dewanti lestari/ant)